Sabtu, 29 November 2008

AKU DAN BAHASA

Aku heran kenapa para tetua memilih topik ini untuk dilombakan ya? "Aku dan Bahasa". Udah tau dulu di kuliah diajarin kalau salah satu hasil dari kebudayaan manusia adalah bahasa, karena manusia adalah makhluk sosial maka manusia butuh bahasa untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya.
Yah, daripada bengong, daripada ga ada kegiatan lebih baik gw ngeramaiin kompetisi ini (kali aja bisa cepet lulus) hehe.
Saya ingin mengeluarkan uneg2 saya tentang bahasa saya sendiri, bahasa jawa sebagai bahasa ibu dan bahasa persatuan, bahasa indonesia.

Sebagai seorang Indonesia keturunan (keturunan jawa mksdnya hehe, biar orang tau kalau saya dan orang-orang lain di Indonesia juga keturunan dari berbagai macam suku) yang merantau di tanah orang Sunda sudah jelas bahwa bahasa yang bisa menjembatani antara dua suku bangsa yang bertemu ini sangatlah penting, jika tidak ada bahasa yang bisa menjembatani ini maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.

Para pendiri bangsa (Founding Fathers) sadar benar akan hal ini, mereka butuh apa yang disebut bahasa nasional, bahasa persatuan. Maka dari itu pada tanggal 28 Oktober 1928 tercetus 3 poin pengakuan para pemuda (yang beken dengan nama Soempah Pemoeda) yang berkumpul pada waktu itu:

1. KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
2.KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
3. KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Pengakuan diatas inilah yang dijadikan pusaka dan legitimasi atas sebuah nation yang bernama indonesia dan sebuah bahasa yang dinamakan bahasa indonesia.
merasa bangga bukan menjadi orang Indonesia?
Mari kita kaji lebih mendalam pengakuan para pemoeda ini.

Secara sejarah memang ada peristiwa berkumpulnya para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dulu (ada gitu??/Patut dipertanyakan karena sejarah 'sejarah indonesia' selalu diragukan keabsahannya), dalam buku "Nusantara: Sejarah Indonesia" tulisan Bernard H. M. Vlekke tidak terdapat tulisan mengenai peristiwa SANGAT PENTING ini, masa iya sih peristiwa sebesar ini ga dimasukkan ke dalam bukunya?
Ya, anggaplah ada peristiwa tersebut, tapi ada suatu kejanggalan. Membaca kompas edisi hari ini (30 Okt 2008), ada ucapan menteri pemuda dan olahraga yang menggelitik, kalau tidak salah kutipannya seperti ini: "Pemuda sekarang telah melanggar sumpahnya."
Jadi, yang saya maksud tentang kejanggalan ini adalah:
1. pemuda mana yang ikut Soempah tersebut?
2. Bila memang pemuda2 perwakilan daerah, apakah benar2 mewakili aspirasi daerah2 yang diwakilinya?
3. Apakah diperbolehkan oleh penguasa pada saat itu untuk berkumpulnya massa sebesar itu, apalagi sebuah kongres daerah untuk merumuskan hal yang sangat membahayakan penjajah?

Menjawab semua itu saya berpendapat bahwa Soempah Pemoeda hanyalah sumpah segelintir orang dalam sebuah organisasi politik yang ingin menyatukan visi dan misinya untuk melawan penjajah, bukan sebuah pertemuan nasional yang sangat tidak mungkin terjadi pada saat itu.
Penyatuan visi dan misi sebuah organisasi sangatlah penting, apalagi pada masa itu dimana mungkin kesadaran untuk bersatu sudah mulai tumbuh. Kita menyadari bahwa Nusantara terdiri dari berbagai macam bahasa, dan butuh sebuah pemersatu agar apa yang terjadi dlm kongres itu dapat dimengerti oleh seluruh delegasi yang hadir pada saat itu yaitu pemuda jawa, sumatra, sunda, dll.

Cukuplah membahas tentang masa lalu, lalu apa yang terjadi sekarang ini? Apa itu bahasa Indonesia? kalau saya bisa bilang bahasa Indonesia adalah bahasa EYD, tapi apakah benar EYD yang dipakai?
jawabannya TIDAK.
Lalu kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah itu bahasa Indonesia?
bahasa indonesia adalah lingua franca, bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi antara 2 kelompok atau lebih yang mempunyai bahasa ibu berbeda. Dalam hal ini, akar bahasa indonesia adalah bahasa melayu, bahasa pasar yang dipergunakan pada jaman dahulu untuk bertransaksi antar suku2 bangsa yang ada di nusantara karena bahasa melayu sangat mudah digunakan, tidak terdapat grammar yang memusingkan.
Jadi pada jaman dahulu, bahasa melayu hanya dipakai untuk bertransaksi dan berkomunikasi di pasar, jika yang ditemui adalah seseorang yang berbeda bahasa ibu.

Pada jaman kolonial (lagi2 balikk ke jaman dahulu kala hehehe), Batavia atau Jakarta menjadi Bandar/kota yang sangat penting, banyak suku2 bangsa tinggal d situ, maka penggunaan lingua franca menjadi lebih dominan d sana, lambat laun ligua franca ini menjadi creole (bahasa pasar yang akhirnya menjadi bahasa ibu).
Di jaman kemerdekaan, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara (UUD 1945 pasal 36).
Dan pada pemerintahan Soeharto, akhirnya bahasa Indonesia ini dilembagakan dengan meresmikan EYD dengan beserta semu aturan2nya. Pada tahun 1983, pada konggres bahasa Indonesia V ingin mantapkan aturan di GBHN yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.

Pemerintahan Soeharto yang sentralistik dan tangan besi membuat semuanya menjadi kacau, bahasa indonesia yang hanyalah bahasa pasar dilembagakan dan diatur penggunaannya (dalam kenyataannya bisa ga?).
Jakarta yang sudah menjadikan bahasa lingua franca (dlm hal ini bhs. Indonesia) menjadi pusat segala-galanya. Pemerintahan, ekonomi, budaya dll.
Apa yang terjadi dengan sentralistik ini? Jakarta segera mendominasi budaya yang ada di Indonesia, dalam hal ini juga bahasa.
Lu, gue, menjadi hal biasa di daerah2 lain di Indonesia. Dengan bantuan media gejala ini berjalan sangat mulus, merasuki alam bawah sadar manusia untuk menggunakannya, dengan alasan agar gaul, tidak dianggap udik.
Hal ini telah berlangsung sangat lama, lalu apa guna pusat bahasa?
Mau tidak mau diakui bahwa bahasa Indonesia sekarang berkiblat ke Jakarta, aware ga para ahli bahasa? perasaan EYD gitu2 aja hehehe.
Tapi hal ini sangatlah bagus, jika menilik ke GBHN yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.

Lalu apakah ahli bahasa Indonesia peduli dengan bahasa ibu, bahasa asli suku2 di Indonesia?
Kaum muda sudah menganggap bahasa ibunya sudah kuno, mereka mengangap bahasa ibunya sudah ga gaul lagi karena pengaruh media.
Bahasa daerah telah terpinggirkan. Saya yang asli surabaya, dengan bahasa suroboyoan saya, protes dengan hal ini. orang Sunda dengan bahasa Sunda-nya protes dengan hal ini. Tetapi apa daya? sentralisasi dan media serta bahasa Indonesia yang dilembagakan menutup diri, tak mau tau.
Para pemoeda tahun 2008 dahulu MENJUNJUNG bahasa indonesia bukan MEWAJIBKAN, menjunjung berarti menghormati, lalu apakah bahasa Indonesia menjunjung bahasa daerah?
Bahasa Indonesia telah mematikan bahasa daerah!
Lalu apa hak menteri pemuda dan olahraga mengatakan bahwa pemuda sekarang telah melanggar sumpahnya?
Sumpah apa yang kita langgar? Sumpah mewajibkan EYD dalam kehidupan sehari-hari?

maka saya mempunyai pengakuan sendiri:
AKU CINTA BAHASA IBUKU DAN AKAN MENGGUNAKAN BAHASA JAKARTA JIKA DIPERLUKAN.
karena apa? BAHASA INDONESIA SUDAH MATI!

Tidak ada komentar: